JAKARTA, SL - Rencana implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mendapat beragam penolakan dari beragam pihak, salah satunya dari serikat pekerja. Kali ini, penolakan implementasi penggabungan kelas rawat inap yang rencana akan diimplementasikan per Juli nanti dilayangkan oleh Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP KSBSI).
Ketua Umum DPP KSBSI, Johannes Dartha Pakpahan menyatakan bahwa pihaknya menolak dengan tegas rencana penerapan KRIS.
Ia mengungkapkan apabila KRIS diterapkan, akan menghilangkan prinsip gotong royong dan keadilan sosial yang selama ini landasan dalam penyelenggaraan Program JKN.
Menurut Dartha, penerapan KRIS berpotensi menimbulkan berbagai masalah serius, terutama dalam hal akses pelayanan dan pembiayaan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024, penerapan KRIS akan menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam layanan rawat inap BPJS Kesehatan menjadi satu standar layanan tunggal dengan 12 kriteria minimum, salah satunya jumlah maksimal empat tempat tidur per kamar.
"Jika KRIS ini diterapkan, akan terjadi penurunan jumlah tempat tidur untuk peserta JKN. Rumah sakit pemerintah hanya diwajibkan menyediakan 60 persen ruang rawat inap untuk peserta JKN, sementara rumah sakit swasta hanya 40 persen. Padahal saat ini hampir 100 persen tempat tidur di rumah sakit telah digunakan untuk peserta JKN dan tetap penuh, bahkan banyak pasien yang harus menunggu di IGD," kata Dartha saat kegiatan kegiatan Forum Jaminan Sosial yang diselenggarakan Dewan Jaminan Sosial Nasional, Rabu (21/05).
Dengan ketentuan kelas rawat inap yang hingga saat ini masih berlaku, masih terdapat peserta JKN yang sulit untuk menjalani perawatan karena ruang rawat inap penuh. Apalagi dengan nantinya diterapkan KRIS, akan terjadi disparitas antara peserta JKN dengan pasien umum lainnya.
Dengan urgensi penerapan KRIS ini, Dartha khawatir penerapan KRIS memiliki motif hanya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Padahal, tujuan implementasi KRIS ditujukkan untuk memberikan kemudahan bagi peserta. Namun, dengan rencana penerapan KRIS ini belum tentu menjadi solusi atas masalah yang terjadi.
"Sangat disayangkan jika KRIS ini diterapkan akan berdampak terhadap pelayanan bagi para buruh. Buruh yang selama ini memiliki hak kelas 1 (dua tempat tidur per kamar), harus rela dipindah ke kamar berisi empat tempat tidur sesuai standar KRIS. Ini dianggap sebagai penurunan kualitas dan kenyamanan layanan," katanya.
Untuk itu, Dartha meminta agar Presiden Republik Indonesia maupun para regulator untuk mengkaji ulang berbagai kebijakan jaminan sosial agar tidak menyulitkan masyarakat khususnya para buruh.
Selain itu, penolakan implementasi KRIS juga dilayangkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, Ahmad Supriadi. Ia juga menyoroti peran dari regulator yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, khususnya bagi para buruh.
Ia berharap, kepada para regulator bisa bekerja mewakili rakyat dan memiliki keberpihakan kepada rakyat. Ia juga meminta agar para regulator bekerja dengan sepenuh hati dan tidak berorientasi kepada profit dan kepentingan apapun yang bersifat subjektif.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timbul Siregar mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada yang mengatakan bahwa KRIS harus satu kelas. Terbitnya Perpres 59 tahun 2024 juga sangat disayangkan oleh Timbul, lantaran tidak melibatkan peran masyarakat dalam penyusunan regulasi tersebut. Padahal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus melibatkan masyarakat.
"Penetapan regulasi mengenai KRIS ini tidak melibatkan masyarakat di program JKN, ini jelas kami tidak pernah dilibatkan. Jika memang ingin diterapkan, coba patuhi dulu saja UU Nomor 13 tahun 2022 untuk melibatkan masyarakat," kata Timbul.
Ia menegaskan bahwa negara wajib menyediakan akses kesehatan yang layak. Artinya negara wajib memberikan akses fasilitas kesehatan bagi masyarakat yang mudah diakses dan tidak ada diskriminasi pelayanan bagi peserta.
"Faktanya kalau peserta mau ke rumah sakit kita selalu mendapatkan kendala. Masih ada peserta yang kesulitan mendapatkan ruang rawat inap. Khawatirnya adalah, dengan rencana penurunan kualitas layanan melalui KRIS ini akan menjadi pembuka bagi pemerintah dan rumah sakit untuk mendorong peserta memanfaatkan asuransi komersial dalam mengakses pelayanan," tambah Timbul.
Timbul mengungkapkan segala regulasi dibuat untuk mensejahterakan rakyat. Ia meminta regulasi terkait penerapan KRIS bukan penyetaraan kelas dalam arti hanya ada satu kelas, melainkan upaya standarisasi pelayanan di ruang rawat inap.
Menurutnya, penyediaan fasilitas kesehatan yang layak dan tidak mempersulit masyarakat dalam mengakses pelayanan menjadi hal utama yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
Posting Komentar